Hari Minggu sore ini saya sengaja ingin menengok lokomotif uap di
Museum Transportasi, TMII. Saya tiba di area parkir TMII, tepat pada
pukul 16.30. Bergegas saya berjalan seorang diri menyusuri trotoar di
tepi jalur beraspal, di dalam TMII, menuju ke tempat area museum .
Deretan mobil yang terparkir di atas trotoar membuat saya kesulitan
mencari celah jalan saat melangkahkan kaki. “Kasihan pengunjung yang
ingin menikmati suasana di area TMII dengan berjalan kaki. Semua jalur
telah ‘dimakan’ oleh mobil, bus, dan motor.”, gumam saya dalam hati.
Memasuki pintu area museum saya langsung membeli tiket masuk seharga dua
ribu rupiah. “Murah banget masuk museum cuma dikenai tiket sama dengan
harga sebuah pisang goreng.”. Petugas loket yang ternyata seorang satpam
laki-laki berbaju safari, sempat bingung ketika saya menyodorkan uang
limaribuan. Ternyata dia tidak punya uang kembalian seribu rupiah.
Akhirnya saya diberi dua lembaran uang dua ribu rupiah. Berarti ongkos
masuk saya cuma seribu rupiah.
Saya lihat suasana sore hari di area luar museum tampak ramai. Sejumlah
remaja laki-laki dan perempuan tampak berfoto-foto di dekat rangkaian
gerbong tua. Sepasang calon pengantin terlihat sedang difoto oleh
pemotret professional. Pasangan tersebut beraksi di pintu gerbong
paling belakang. Saya langsung memilih untuk mengamati terlebih dahulu
sosok lokomotif uap raksasa yang disebut dalam keterangan tertulis
merupakan rangkaian kereta keprisidenan pada jaman presiden Sukarno
berkuasa. Bila membandingkan sosok lokomotifnya yang sangat besar
beserta rangkaian gerbong yang ditarik, kesan saya rangkaian tersebut
kelihatan tidak seimbang. Lokomotif buatan ‘Krupp’, Belanda tersebut
tentu bertenaga besar, sementara tiga gerbong di belakangnya, yang
terdiri atas: gerbong presiden, gerbong wakil presiden, dan gerbong
klinik, tentu hanya berbobot ringan.
Setelah puas memelototi rangkaian kereta istimewa yang terletak di dekat
pintu masuk, saya lalu berjalan menyusuri rel menuju ke gedung sebelah
Timur yang menjadi naungan bagi sejumlah lokomotif tua lainnya. Terus
terang baru kali ini saya menengok gedung yang terletak di pinggiran
area museum. Dalam beberapa kali kunjungan bersama keluarga, saya belum
sempat melihat lokasi gedung tersebut karena keterbatasan waktu. Dari
kejauhan yang terlihat hanya dua buah lokomotif berukuran sedang.
Ternyata setelah saya sampai di depan gedung tampak pemandangan yang
sangat mengagumkan bagi mata saya. Di dalam gedung tersebut terlihat
sejumlah lokomotif raksasa yang sangat saya sukai. “Wow ! Inilah harta
karun sejarah yang ternyata selama ini tidak saya ketahui sama sekali
(!)”. Sejak lama saya memimpikan bisa mengunjungi museum lokomotif di
Ambarawa, Jawa Tengah, namun belum kesampaian hingga saat ini. Ternyata
di TMII yang dekat dengan rumah saya, sejumlah koleksi lokomotif tua
raksasa dapat saya pelototi setiap waktu sesuka saya. Sayang sekali,
waktu kunjungan saya sore tadi hanya tersedia selama satu jam, sebab
museum transportasi tutup pada pukul 17.30.
Suasana sepi, dengan sorot sinar matahari yang mulai temaram membuat
situasi di dalam gedung terasa sejuk. Tak henti-hentinya saya mengamati
semua detail bagian lokomotif raksasa yang berdiri dengan gagah pada
masing-masing jalur rel pendek khusus untuk masing-masing loko. Beberapa
keteragan yang saya lihat menyebutkan pabrik pembuat lokomotif
tersebut, disertai tahun pembuatan, daerah tempat lokomotif tersebut
beroperasi, serta berat tonase.
Bila Anda penggemar film-film tentang sejarah Perang Eropa, pasti Anda
tidak akan lupa dengan adegan-adegan di stasiun tua di negara-negara
Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Inggris, dan sejumlah negara Eropa yang
terlibat dalam peperangan, dari tahun 1939 s.d. 1944. Saya juga bisa
merasakan kepulan asap yang keluar dari cerobong, desisan rem roda atau
bunyi berdenyit akibat gesekan roda dengan rel disertai dengan kepulan
asap di sisi samping lokomotif yang dihentikan oleh masinis karena
rangkaian kereta api dihentikan oleh serombongan tentara Nazi Jerman
berdiri di peron stasiun. Selanjutnya dua orang anggota pasukan ‘SS’
bergegas memasuki gerbong untuk memeriksa satu persatu para penumpang di
dalam gerbong. Imajinasi tersebut mungkin sangat terasa kehadirannya
ketika Anda berada di samping lokomotif-lokomotif uap buatan pabrik
‘Hohenzollern, Dusseldorf, Jerman, 1930′, ‘Hannomack, Hannover, Jerman’,
‘Hartmann, Chemnitz, Jerman, 1921′, ‘Werkspoor, Amsterdam, Nederland,
1928′, ‘Winterthur, Schweiz Lok & Mash, Sweden, 1916, dan lain-lain,
yang ada di museum Transportasi, TMII.
Lokomotif besar yang bersejarah itu merupakan koleksi dari sejumlah
daerah di Jawa dan Sumatra, tempat mereka beroperasi selama masa
pemerintahan Belanda di Indonesia. Sejumlah kota tempat asal
lokomotif-lokomotif itu berasal, yakni: Cibatu, Rangkasbitung,
Purwakarta, Bangil, Tanjung Enim, Medan, dan Padang.
Ingin rasanya menjadikan koleksi lokomotif itu agar tetap bisa berjalan,
namun saya harus memaklumi bahwa untuk mewujudkan hal itu tentu
membutuhkan biaya perbaikan yang sangat besar. Namun saya sangat
berterimakasih kepada pemerintah, khususnya pengelola TMII, terkait
dengan penempatan koleksi lokomotif tersebut yang sangat rapih dan
terlindung dari pengaruh hujan serta panas.
Meskipun sebagian koleksi tersebut sudah mengalami pengeroposan,
khususnya yang berada di area terbuka, namun bila selalu dilakukan
pengecatan rutin, Insaya Allah akan tetap terjaga awet hingga ratusan
tahun. Anak-anak Indonesia dan para pemerhati sejarah Indonesia
diharapkan masih bisa melihat-lihat koleksi ‘harta karun sejarah kereta
api’ tersebut untuk masa mendatang.
Saya pernah merasakan perjalanan menaiki rangkaian dua gerbong tua
yang dihela oleh sebuah lokomotif diesel puluhan tahun yang silam (pada
jaman Orba masih berkuasa). Namun sangat disayangkan pada masa kini
rangkaian tersebut telah dipensiunkan. Kondisi loko diesel bersejarah
itu masih bertengger di atas rel sepanjang kira-kira satu kilometer,
begitupun dua gerbong kayu tua. Impian orang tua dan anak-anaknya yang
ingin merasakan desiran angin saat rangkaian tersebut berjalan pelan
memasuki terowongan buatan, untuk saat ini dan pada masa mendatang tidak
akan terwujud lagi.
Hari Minggu sore ini saya sengaja ingin menengok lokomotif uap di
Museum Transportasi, TMII. Saya tiba di area parkir TMII, tepat pada
pukul 16.30. Bergegas saya berjalan seorang diri menyusuri trotoar di
tepi jalur beraspal, di dalam TMII, menuju ke tempat area museum .
Deretan mobil yang terparkir di atas trotoar membuat saya kesulitan
mencari celah jalan saat melangkahkan kaki. “Kasihan pengunjung yang
ingin menikmati suasana di area TMII dengan berjalan kaki. Semua jalur
telah ‘dimakan’ oleh mobil, bus, dan motor.”, gumam saya dalam hati.
Memasuki pintu area museum saya langsung membeli tiket masuk seharga dua
ribu rupiah. “Murah banget masuk museum cuma dikenai tiket sama dengan
harga sebuah pisang goreng.”. Petugas loket yang ternyata seorang satpam
laki-laki berbaju safari, sempat bingung ketika saya menyodorkan uang
limaribuan. Ternyata dia tidak punya uang kembalian seribu rupiah.
Akhirnya saya diberi dua lembaran uang dua ribu rupiah. Berarti ongkos
masuk saya cuma seribu rupiah.
Saya lihat suasana sore hari di area luar museum tampak ramai. Sejumlah
remaja laki-laki dan perempuan tampak berfoto-foto di dekat rangkaian
gerbong tua. Sepasang calon pengantin terlihat sedang difoto oleh
pemotret professional. Pasangan tersebut beraksi di pintu gerbong
paling belakang. Saya langsung memilih untuk mengamati terlebih dahulu
sosok lokomotif uap raksasa yang disebut dalam keterangan tertulis
merupakan rangkaian kereta keprisidenan pada jaman presiden Sukarno
berkuasa. Bila membandingkan sosok lokomotifnya yang sangat besar
beserta rangkaian gerbong yang ditarik, kesan saya rangkaian tersebut
kelihatan tidak seimbang. Lokomotif buatan ‘Krupp’, Belanda tersebut
tentu bertenaga besar, sementara tiga gerbong di belakangnya, yang
terdiri atas: gerbong presiden, gerbong wakil presiden, dan gerbong
klinik, tentu hanya berbobot ringan.
Setelah puas memelototi rangkaian kereta istimewa yang terletak di dekat
pintu masuk, saya lalu berjalan menyusuri rel menuju ke gedung sebelah
Timur yang menjadi naungan bagi sejumlah lokomotif tua lainnya. Terus
terang baru kali ini saya menengok gedung yang terletak di pinggiran
area museum. Dalam beberapa kali kunjungan bersama keluarga, saya belum
sempat melihat lokasi gedung tersebut karena keterbatasan waktu. Dari
kejauhan yang terlihat hanya dua buah lokomotif berukuran sedang.
Ternyata setelah saya sampai di depan gedung tampak pemandangan yang
sangat mengagumkan bagi mata saya. Di dalam gedung tersebut terlihat
sejumlah lokomotif raksasa yang sangat saya sukai. “Wow ! Inilah harta
karun sejarah yang ternyata selama ini tidak saya ketahui sama sekali
(!)”. Sejak lama saya memimpikan bisa mengunjungi museum lokomotif di
Ambarawa, Jawa Tengah, namun belum kesampaian hingga saat ini. Ternyata
di TMII yang dekat dengan rumah saya, sejumlah koleksi lokomotif tua
raksasa dapat saya pelototi setiap waktu sesuka saya. Sayang sekali,
waktu kunjungan saya sore tadi hanya tersedia selama satu jam, sebab
museum transportasi tutup pada pukul 17.30.
Suasana sepi, dengan sorot sinar matahari yang mulai temaram membuat
situasi di dalam gedung terasa sejuk. Tak henti-hentinya saya mengamati
semua detail bagian lokomotif raksasa yang berdiri dengan gagah pada
masing-masing jalur rel pendek khusus untuk masing-masing loko. Beberapa
keteragan yang saya lihat menyebutkan pabrik pembuat lokomotif
tersebut, disertai tahun pembuatan, daerah tempat lokomotif tersebut
beroperasi, serta berat tonase.
Bila Anda penggemar film-film tentang sejarah Perang Eropa, pasti Anda
tidak akan lupa dengan adegan-adegan di stasiun tua di negara-negara
Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Inggris, dan sejumlah negara Eropa yang
terlibat dalam peperangan, dari tahun 1939 s.d. 1944. Saya juga bisa
merasakan kepulan asap yang keluar dari cerobong, desisan rem roda atau
bunyi berdenyit akibat gesekan roda dengan rel disertai dengan kepulan
asap di sisi samping lokomotif yang dihentikan oleh masinis karena
rangkaian kereta api dihentikan oleh serombongan tentara Nazi Jerman
berdiri di peron stasiun. Selanjutnya dua orang anggota pasukan ‘SS’
bergegas memasuki gerbong untuk memeriksa satu persatu para penumpang di
dalam gerbong. Imajinasi tersebut mungkin sangat terasa kehadirannya
ketika Anda berada di samping lokomotif-lokomotif uap buatan pabrik
‘Hohenzollern, Dusseldorf, Jerman, 1930′, ‘Hannomack, Hannover, Jerman’,
‘Hartmann, Chemnitz, Jerman, 1921′, ‘Werkspoor, Amsterdam, Nederland,
1928′, ‘Winterthur, Schweiz Lok & Mash, Sweden, 1916, dan lain-lain,
yang ada di museum Transportasi, TMII.
Lokomotif besar yang bersejarah itu merupakan koleksi dari sejumlah
daerah di Jawa dan Sumatra, tempat mereka beroperasi selama masa
pemerintahan Belanda di Indonesia. Sejumlah kota tempat asal
lokomotif-lokomotif itu berasal, yakni: Cibatu, Rangkasbitung,
Purwakarta, Bangil, Tanjung Enim, Medan, dan Padang.
Ingin rasanya menjadikan koleksi lokomotif itu agar tetap bisa berjalan,
namun saya harus memaklumi bahwa untuk mewujudkan hal itu tentu
membutuhkan biaya perbaikan yang sangat besar. Namun saya sangat
berterimakasih kepada pemerintah, khususnya pengelola TMII, terkait
dengan penempatan koleksi lokomotif tersebut yang sangat rapih dan
terlindung dari pengaruh hujan serta panas.
Meskipun sebagian koleksi tersebut sudah mengalami pengeroposan,
khususnya yang berada di area terbuka, namun bila selalu dilakukan
pengecatan rutin, Insaya Allah akan tetap terjaga awet hingga ratusan
tahun. Anak-anak Indonesia dan para pemerhati sejarah Indonesia
diharapkan masih bisa melihat-lihat koleksi ‘harta karun sejarah kereta
api’ tersebut untuk masa mendatang.
Saya pernah merasakan perjalanan menaiki rangkaian dua gerbong tua
yang dihela oleh sebuah lokomotif diesel puluhan tahun yang silam (pada
jaman Orba masih berkuasa). Namun sangat disayangkan pada masa kini
rangkaian tersebut telah dipensiunkan. Kondisi loko diesel bersejarah
itu masih bertengger di atas rel sepanjang kira-kira satu kilometer,
begitupun dua gerbong kayu tua. Impian orang tua dan anak-anaknya yang
ingin merasakan desiran angin saat rangkaian tersebut berjalan pelan
memasuki terowongan buatan, untuk saat ini dan pada masa mendatang tidak
akan terwujud lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar