Memasuki pintu area museum saya langsung membeli tiket masuk seharga dua ribu rupiah. “Murah banget masuk museum cuma dikenai tiket sama dengan harga sebuah pisang goreng.”. Petugas loket yang ternyata seorang satpam laki-laki berbaju safari, sempat bingung ketika saya menyodorkan uang limaribuan. Ternyata dia tidak punya uang kembalian seribu rupiah. Akhirnya saya diberi dua lembaran uang dua ribu rupiah. Berarti ongkos masuk saya cuma seribu rupiah.
Saya lihat suasana sore hari di area luar museum tampak ramai. Sejumlah remaja laki-laki dan perempuan tampak berfoto-foto di dekat rangkaian gerbong tua. Sepasang calon pengantin terlihat sedang difoto oleh pemotret professional. Pasangan tersebut beraksi di pintu gerbong paling belakang. Saya langsung memilih untuk mengamati terlebih dahulu sosok lokomotif uap raksasa yang disebut dalam keterangan tertulis merupakan rangkaian kereta keprisidenan pada jaman presiden Sukarno berkuasa. Bila membandingkan sosok lokomotifnya yang sangat besar beserta rangkaian gerbong yang ditarik, kesan saya rangkaian tersebut kelihatan tidak seimbang. Lokomotif buatan ‘Krupp’, Belanda tersebut tentu bertenaga besar, sementara tiga gerbong di belakangnya, yang terdiri atas: gerbong presiden, gerbong wakil presiden, dan gerbong klinik, tentu hanya berbobot ringan.

Lokomotif keprisidenan.

Lokomotif kepresidenan .

Lokomotif kepresidenan.

Lokomotif kepresidenan.

Keterangan sejarah.
Suasana sepi, dengan sorot sinar matahari yang mulai temaram membuat situasi di dalam gedung terasa sejuk. Tak henti-hentinya saya mengamati semua detail bagian lokomotif raksasa yang berdiri dengan gagah pada masing-masing jalur rel pendek khusus untuk masing-masing loko. Beberapa keteragan yang saya lihat menyebutkan pabrik pembuat lokomotif tersebut, disertai tahun pembuatan, daerah tempat lokomotif tersebut beroperasi, serta berat tonase.
Bila Anda penggemar film-film tentang sejarah Perang Eropa, pasti Anda tidak akan lupa dengan adegan-adegan di stasiun tua di negara-negara Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Inggris, dan sejumlah negara Eropa yang terlibat dalam peperangan, dari tahun 1939 s.d. 1944. Saya juga bisa merasakan kepulan asap yang keluar dari cerobong, desisan rem roda atau bunyi berdenyit akibat gesekan roda dengan rel disertai dengan kepulan asap di sisi samping lokomotif yang dihentikan oleh masinis karena rangkaian kereta api dihentikan oleh serombongan tentara Nazi Jerman berdiri di peron stasiun. Selanjutnya dua orang anggota pasukan ‘SS’ bergegas memasuki gerbong untuk memeriksa satu persatu para penumpang di dalam gerbong. Imajinasi tersebut mungkin sangat terasa kehadirannya ketika Anda berada di samping lokomotif-lokomotif uap buatan pabrik ‘Hohenzollern, Dusseldorf, Jerman, 1930′, ‘Hannomack, Hannover, Jerman’, ‘Hartmann, Chemnitz, Jerman, 1921′, ‘Werkspoor, Amsterdam, Nederland, 1928′, ‘Winterthur, Schweiz Lok & Mash, Sweden, 1916, dan lain-lain, yang ada di museum Transportasi, TMII.

Lokomotif besar 1.

Lokomotif besar 2.

Lokomotif besar 3.

Lokomotif besar 4.

Lokomotif besar 5.

Lokomotif besar 6.

Loko diesel yang telah dipensiunkan.

Ada tulisan

Sarang tawon di pintu ketel.

Nama stasiun.

Tarif naik kereta api (dalam bahasa Belanda).
Ingin rasanya menjadikan koleksi lokomotif itu agar tetap bisa berjalan, namun saya harus memaklumi bahwa untuk mewujudkan hal itu tentu membutuhkan biaya perbaikan yang sangat besar. Namun saya sangat berterimakasih kepada pemerintah, khususnya pengelola TMII, terkait dengan penempatan koleksi lokomotif tersebut yang sangat rapih dan terlindung dari pengaruh hujan serta panas.
Meskipun sebagian koleksi tersebut sudah mengalami pengeroposan, khususnya yang berada di area terbuka, namun bila selalu dilakukan pengecatan rutin, Insaya Allah akan tetap terjaga awet hingga ratusan tahun. Anak-anak Indonesia dan para pemerhati sejarah Indonesia diharapkan masih bisa melihat-lihat koleksi ‘harta karun sejarah kereta api’ tersebut untuk masa mendatang.
Saya pernah merasakan perjalanan menaiki rangkaian dua gerbong tua yang dihela oleh sebuah lokomotif diesel puluhan tahun yang silam (pada jaman Orba masih berkuasa). Namun sangat disayangkan pada masa kini rangkaian tersebut telah dipensiunkan. Kondisi loko diesel bersejarah itu masih bertengger di atas rel sepanjang kira-kira satu kilometer, begitupun dua gerbong kayu tua. Impian orang tua dan anak-anaknya yang ingin merasakan desiran angin saat rangkaian tersebut berjalan pelan memasuki terowongan buatan, untuk saat ini dan pada masa mendatang tidak akan terwujud lagi. Hari Minggu sore ini saya sengaja ingin menengok lokomotif uap di Museum Transportasi, TMII. Saya tiba di area parkir TMII, tepat pada pukul 16.30. Bergegas saya berjalan seorang diri menyusuri trotoar di tepi jalur beraspal, di dalam TMII, menuju ke tempat area museum . Deretan mobil yang terparkir di atas trotoar membuat saya kesulitan mencari celah jalan saat melangkahkan kaki. “Kasihan pengunjung yang ingin menikmati suasana di area TMII dengan berjalan kaki. Semua jalur telah ‘dimakan’ oleh mobil, bus, dan motor.”, gumam saya dalam hati.
Memasuki pintu area museum saya langsung membeli tiket masuk seharga dua ribu rupiah. “Murah banget masuk museum cuma dikenai tiket sama dengan harga sebuah pisang goreng.”. Petugas loket yang ternyata seorang satpam laki-laki berbaju safari, sempat bingung ketika saya menyodorkan uang limaribuan. Ternyata dia tidak punya uang kembalian seribu rupiah. Akhirnya saya diberi dua lembaran uang dua ribu rupiah. Berarti ongkos masuk saya cuma seribu rupiah.
Saya lihat suasana sore hari di area luar museum tampak ramai. Sejumlah remaja laki-laki dan perempuan tampak berfoto-foto di dekat rangkaian gerbong tua. Sepasang calon pengantin terlihat sedang difoto oleh pemotret professional. Pasangan tersebut beraksi di pintu gerbong paling belakang. Saya langsung memilih untuk mengamati terlebih dahulu sosok lokomotif uap raksasa yang disebut dalam keterangan tertulis merupakan rangkaian kereta keprisidenan pada jaman presiden Sukarno berkuasa. Bila membandingkan sosok lokomotifnya yang sangat besar beserta rangkaian gerbong yang ditarik, kesan saya rangkaian tersebut kelihatan tidak seimbang. Lokomotif buatan ‘Krupp’, Belanda tersebut tentu bertenaga besar, sementara tiga gerbong di belakangnya, yang terdiri atas: gerbong presiden, gerbong wakil presiden, dan gerbong klinik, tentu hanya berbobot ringan.

Lokomotif keprisidenan.

Lokomotif kepresidenan .

Lokomotif kepresidenan.

Lokomotif kepresidenan.

Keterangan sejarah.
Suasana sepi, dengan sorot sinar matahari yang mulai temaram membuat situasi di dalam gedung terasa sejuk. Tak henti-hentinya saya mengamati semua detail bagian lokomotif raksasa yang berdiri dengan gagah pada masing-masing jalur rel pendek khusus untuk masing-masing loko. Beberapa keteragan yang saya lihat menyebutkan pabrik pembuat lokomotif tersebut, disertai tahun pembuatan, daerah tempat lokomotif tersebut beroperasi, serta berat tonase.
Bila Anda penggemar film-film tentang sejarah Perang Eropa, pasti Anda tidak akan lupa dengan adegan-adegan di stasiun tua di negara-negara Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Inggris, dan sejumlah negara Eropa yang terlibat dalam peperangan, dari tahun 1939 s.d. 1944. Saya juga bisa merasakan kepulan asap yang keluar dari cerobong, desisan rem roda atau bunyi berdenyit akibat gesekan roda dengan rel disertai dengan kepulan asap di sisi samping lokomotif yang dihentikan oleh masinis karena rangkaian kereta api dihentikan oleh serombongan tentara Nazi Jerman berdiri di peron stasiun. Selanjutnya dua orang anggota pasukan ‘SS’ bergegas memasuki gerbong untuk memeriksa satu persatu para penumpang di dalam gerbong. Imajinasi tersebut mungkin sangat terasa kehadirannya ketika Anda berada di samping lokomotif-lokomotif uap buatan pabrik ‘Hohenzollern, Dusseldorf, Jerman, 1930′, ‘Hannomack, Hannover, Jerman’, ‘Hartmann, Chemnitz, Jerman, 1921′, ‘Werkspoor, Amsterdam, Nederland, 1928′, ‘Winterthur, Schweiz Lok & Mash, Sweden, 1916, dan lain-lain, yang ada di museum Transportasi, TMII.

Lokomotif besar 1.

Lokomotif besar 2.

Lokomotif besar 3.

Lokomotif besar 4.

Lokomotif besar 5.

Lokomotif besar 6.

Loko diesel yang telah dipensiunkan.

Ada tulisan

Sarang tawon di pintu ketel.

Nama stasiun.

Tarif naik kereta api (dalam bahasa Belanda).
Ingin rasanya menjadikan koleksi lokomotif itu agar tetap bisa berjalan, namun saya harus memaklumi bahwa untuk mewujudkan hal itu tentu membutuhkan biaya perbaikan yang sangat besar. Namun saya sangat berterimakasih kepada pemerintah, khususnya pengelola TMII, terkait dengan penempatan koleksi lokomotif tersebut yang sangat rapih dan terlindung dari pengaruh hujan serta panas.
Meskipun sebagian koleksi tersebut sudah mengalami pengeroposan, khususnya yang berada di area terbuka, namun bila selalu dilakukan pengecatan rutin, Insaya Allah akan tetap terjaga awet hingga ratusan tahun. Anak-anak Indonesia dan para pemerhati sejarah Indonesia diharapkan masih bisa melihat-lihat koleksi ‘harta karun sejarah kereta api’ tersebut untuk masa mendatang.
Saya pernah merasakan perjalanan menaiki rangkaian dua gerbong tua yang dihela oleh sebuah lokomotif diesel puluhan tahun yang silam (pada jaman Orba masih berkuasa). Namun sangat disayangkan pada masa kini rangkaian tersebut telah dipensiunkan. Kondisi loko diesel bersejarah itu masih bertengger di atas rel sepanjang kira-kira satu kilometer, begitupun dua gerbong kayu tua. Impian orang tua dan anak-anaknya yang ingin merasakan desiran angin saat rangkaian tersebut berjalan pelan memasuki terowongan buatan, untuk saat ini dan pada masa mendatang tidak akan terwujud lagi.
0 komentar:
Posting Komentar